DIAM
Inilah 'kata'
yang paling tepat untuk disematkan pada sosok manusia super bernama 'ayah'.
Diam adalah karakter yang paling sering dilekatkan padanya. Mungkin karena
fitrahnya yang terlahir sebagai seorang lelaki. Walaupun, tidak semua lelaki
terlahir dalam perisai karakter ‘pendiam’.
Dalam asumsi dan
pandangan sebagian besar anak (termasuk saya), seorang ayah kita akan lebih
banyak diam dan tidak berbicara, dibandingkan dengan ibu. Mungkin yang nampak
adalah ketika pada masa kanak-kanak, ia yang begitu mencintai dengan
perilakunya yang ‘tampak’ dihadapan kita membuat ia terlihat sebagai sosok
super hero atau kebanggaan kita di hadapan teman-teman. Namun, semakin berjalan
waktu, sosok ayah seakan berubah, lambat laun komunikasi dan interaksi dengan
ayah terasa semakin berkurang, terlebih ketika kita beranjak remaja dan menuju
kedewasaan. Ayah akan lebih banyak terlihat diam, sebab diantara para 'ayah' ada yang sulit mengekspresiakan pesan cinta dan kasih sayang pada anak-anaknya. Namun, tanpa kita sadari..
Dibalik diamnya ada Cinta…
Diam tidak berarti tidak memiliki cinta, bukan?
Di zaman
Rasulullah ada seorang sahabat yang pernah bercerita bahwa selama hidupnya ia
belum pernah sekalipun mencium anaknya. Dan itu tak selalu bermakna ia diam
tanpa cinta.
Tak seperti ibu
yang selalu mengekspresikan cintanya dengan ciuman, pelukan hangat dan kasih
sayang yang nyata.
Dibalik diamnya
ayah akan slalu ada cinta, yang menyimpan banyak sekali makna. Dan tugas kita
sebagai anak adalah mencari makna-makna tersebut. Agar kita bisa menemukan
bahwa dibalik diamnya itu bahkan ada cinta yang benar-benar tulus dan sangat
dalam.
Dibalik diamnya ada kebanggaan dan teladan…
Ayah punya
caranya sendiri dalam mengapresiasi kita, dulu, ketika ayah mengajarkan kita
mengendarai sepeda/motor, dan ketika ia menganggap bahwa kita telah mampu
menggunakannya, ia akan melepaskan kita dan membiarkan kita melakukannya
sendiri. Sementara disisi lain mungkin ibu akan berkata sebaliknya, karena
begitu takut melihat anaknya terjatuh. Lalu? Apakah itu berarti ayah kita tega
melihat anaknya terluka? NO ! kondisi sebenarnya ayah yakin semua kan baik-baik
saja. Ayah membiarkannya, karena yakin kita bisa, dan ayah BANGGA ! Memang,
ungkapan ayah mewakili apa yang diyakininya…
Sebahagian dari
kita anaknya, mungkin tak pernah sadar bahwa betapa bangganya beliau dengan
keberadaan kita disisinya, melihat anak-anaknya tumbuh menjadi lebih dewasa,
melihat kita berhasil, bekerja, menikah dan memiliki anak. Betapa ia tak
berhenti bersyukur dengan semua itu. Hanya saja ‘MUNGKIN’ kita tak pernah tau,
karena ia mengungkapkan kebanggaannya dengan DIAM :’)
“Ayah terus berbuat meski tanpa banyak
bicara. Hanya untuk kita. Will Roger mengatakan, “Yang ayah wariskan kepada
anak-anaknya bukan kata-kata atau kekayaan, tetapi sesuatu yang tak terucapkan,
yaitu teladan sebagai seorang pra dan seorang ayah sejati” –Majalah Tarbawi hal.50 (edisi khusus Ayah Punya Cara Sendiri dalam
mencintai Kita)
Dibalik diamnya ada kesungguhan dan tanggung jawab…
Setiap pagi,
sadarkah kita begitu ayam berkokok, subuh menjelang, betapa ia dengan
semangatnya bangkit dari pembaringan untuk bersiap menghadapi hari beratnya?
Nahkoda ‘keluarga’ yang memegang amanah ‘pencari nafkah’ siap untuk bertempur
mengarungi samudra kehidupan sepanjang hari demi member makan istri dan
anak-anaknya di rumah. Bekerja keras, membanting tulang, berkejaran dengan
waktu. Seperti apa ayah kita? Seorang PNS kah? Seorang pengusaha? Seorang
dokter? Insinyur? Petani atau buruh pabrik? Apapun ia, apapun profesinya, semua
bentuk pekerjaan yang ia lakoni sesungguhnya ia kerjakan dengan sepenuh hati,
demi apa? Demi cinta nya pada keluarga, demi cintanya pada kita, anak-anaknya…
Betapa
bahagianya kemudian beliau ketika keringat yang bercucuran ataupun otak yang
terasah sepanjang hari berbuah manis senyuman anak-anaknya yang menanti
kepulangannya di depan pintu rumah, rasa lelah, seketika hilang, pelukan hangat
dan tak jarang airmata yang tertumpah mengisahkan betapa ia tak sanggup
menguntai bahagia dalam kata. Cintanya, menggelorakan semangat dan tanggung
jawab yang tersembunyi dalam diamnya…
Dibalik diamnya ada kegalauan dan kerisauan…
“Anakku mulai menjauh dariku, dan takkan
pernah kurengkuh kembali seperti ketika ia mash kanak-kanak” -ayah
Tanpa
sepengetahuan kita, ayah menyimpan segumpal kegalauan dan kerisauan ketika
perlahan anak-anakanya tumbuh menjadi semakin dewasa, ketika kita sudah mulai
disibukkan dengan segudang pekerjaan diluar sana, ada semakin sedikit waktu
yang bisa dihabiskan untuk sekedar duduk berbincang berbagi kebahagiaan bersama
ayah.
“Sejak suara tangismu yang pertama, sejak
kulantunkan adzan ditelingamu, aku begitu menyayangimu, yah..kaulah permata
hatiku, namun kau bukanlah selamanya milikku, rumah ini hanya tempat persinggahan
dalam perjalananmu menuju kedewasaan. Dan kini, sudah hamper masanya kau pamit,
walau dihatiku terpancar sedikit rasa pahit, tapi siapalah aku yang bisa
menahan perjalanan waktu? Siapalah aku yang mampu menahan realita kedewasaan?
Maafkan aku, wahai anakku, bukan aku tak rela kau pergi, tetapi karena aku
terlalu mencintaimu! Hatiku bertanya adakah orng lain yang bisa mencintaimu dan
menjagamu sepenuh hati, sejak kau jalan tertatih, aku melihatmu jatuh bangun
tanpa rasa letih. Kubalut luka mu dengan hati-hati agar kau tak menjerit. Tapi
jika suatu hari hatimu terluka, siapakah yang akan membalut luka itu dalam
perjalanan hidupmu?”
Dan begitu ayah
bagi kita yang telah menikah, ia laksana makhluk paling bijak yang senantiasa
tersenyum menyambut kebahagiaan kita walau di dalam hatinya terasa perih bahkan
mungkin ia akan sengaja menghindar untuk sekedar menyeka airmatanya yang
berjatuhan. Ayah, disaat yang menyenangkan bagi kita, baginya adalah bagai
menanti detik-detik akhir kebersamaan. Dan ia, lagi lagi hanya terdiam. :’)
Dibalik diamnya ada kekesalan..
Terkadang sosok
ayah yang baik hati bisa ‘kesal’ juga sewaktu waktu. Bukan ia kesal karena
kelalukan ‘nakal’ anak-anaknya, sebenarnya ia kesal pada dirinya sendiri,
karena tidak berhasil mendidik kita, anak-anaknya yang begitu ia cintai.
Dr. Arun Gandhi
cucu dari Mahatma Gandi dan pendiri lembaga M.K.Ghandi, membagi kisahnya..
“Waktu itu saya masih berusia 16 tahun, dan
tinggal bersama orang tua di sebuah lembaga yang didirikan oleh kakek saya,
ditengah-tengah kebun tebu 18 mil di luar kota Durban, Afrika Selatan. Kami
tinggal di pedalaman dan tak punya tetangga. Tak heran, jika kami sangat senang
jika di ajak ke kota untuk mengunjungi teman atau menonton bioskop.
Suatu hari aya meminta saya mengantarkannya
ke kota untuk menghadiri konferensi sehari penuh. Dan saya sangat gembira
dengan kesempatan itu. Tahu, bahwa ayah saya mau ke kota, ibu memberikan daftar
belanjaan yang diperlukan. Selain itu ayah juga meminta saya untuk mengerjakan
beberapa pekerjaan yang lama tertunda, seperti memperbaiki mobil dibengkel.
Pagi itu, setiba di tempat konferensi ayah
berkata : “Ayah tunggu kamu, disini jam 5 sore. Lalu kita akan pulang ke rumah
bersama-sama”. Segera saja saya menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang diberi
ayah kemudian saya pergi ke bioskop. Wah saya benar-benar terpikat dengan dua
permainan John Wayne sehingga lupa waktu. Begitu melihat jam pukul setengah 6
sore, langsung saya berlari menuju bengkel mobil dan terburu-buru menjemput
ayah yang sedang menunggu. Saat itu sudah hamper pukul 6. Dengan gelisah ayah
menanyai saya “Kenapa kau terlambat?” saya sangat malu mengakui bahwa saya
menonton film John Wayne. Akhirnya saya katakan “Tadi mobilnya belum siap
sehingga saya harus menunggu” Padahal, ternyata ayah telah menelpon bengkel
mobil itu, dan kini ayah tahu bahwa saya berbohong.
Kenudian ayah berkata “Ada sesuatu yang
salah dalam membesarkan kamu, sehingga kamu tidak memiliki keberanian untuk
menceritakan kebenaran pada ayah. Untuk menghukum kesalahan pada ayah ini, ayah
akan pulan ke rumah dengan berjalan kai sepanjang 18 mil an memikirkannya
dengan baik-baik.”
Lalu dengan tetap mengenakan pakaian dan
sepatunya, ayah mulai berjalan kaki pulang ke rumah. Padahal hari sudah gelap,
sedangkan jalanan sama sekali tidak rata. Saya tidak bisa meninggalkan ayah.
Maka selama lima stengah jamsaya mengendarai mobil pelan-pelan dibelakangnya.
Melihat penderitaan yang dialami ayahhanya karena kebohongan bodoh yang saya
lakukan, sejak saat itu saya bertekad untuk tidak lagi pernah berbohong”
Sering kali saya berfikir mengenai peristiwa
inidan merasa heran, seandainya ayah menghukum saya sebagaimana kita menghukum
anak-anak kita, maka apakah saya akan mendapatkan sebuah pelajaran mengenai
kesalahan tanpa kekerasan? Saya kira tidak. Saya akan menderita atas hukuman
itu dan melakukan hal yang sama lagi. Tetapi hanya dengan satu tindakan nyata
tanpa kekerasan yang sangat luar biasa, sehingga saya merasa kejdian itu baru
saja terjadi kemarin. Itulah kekuatan tanpa kekerasan.
Dibalik diamnya ada marah..
Bukan karena
tidk sanggup berkata atau memukul, terkadang seorang ayah akan lebih banyak
diam ketika marah dan menyerahkan uruan marah-memarahi kepada ibu. Kenapa? Ia
memilih diam, karena cintanya pada kita.
Imam Hasan Al
Banna juga kadang mengekspresikan
marahnya dengan diam, Tsana anak pertama beliau pernah menceritakan hukuman
yang diberikan ayahnya karena bermain tanpa sandal, saat aku duduk dan melihat
ayah dari kejauhan aku segera bangun dan menghampirinya tanpa sandal, pdahal
ayah sudah menyiapkan sandal untuk bermaindan sepatu untuk ke sekolah. Ketika
itu ayah melihatku hanya sepintas, diam sambil berlalu, saat itu aku sadar ayah
pasti marah. Maka segerahlah aku kembali ke rumah ketika para tamu sudah
pulang, ayah lalu mendudukkanku dan berkata “Duduklah
di atas kursi dan angkat kedua kakimu” ayah lalu memukulku dengan penggaris
pendek, terus terang saat itu dalam hati aku tertawa, karena pukulannya sangat
pelan dan tak berasa sama sekali. Dan itu emmbuatku sadar bahwa ayah hanya
ingin mengerti bahwa aku telah melakukan kesalahan.
Diam adalah
caranya marah, sederhana, namun membekas di hati. Tujuannya? Hanya ingin
membuat kita sadar betapa ia cinta dalam marahnya sekalipun.
Ayah, ada banyak
makna dalam diammu, semangat, tanggung jawab, kebanggaan, kecewa, amarah dan
banyak lagi lainnya, namun apapun itu, pelatuknya selalu CINTA. Ayah meredam
amarahnya karena cinta, ayah bangga dan hidupnya selalu bersemangat karena
CINTA, ya cinta kepada kita, anak-anaknya…
Ayah adalah ayah...
di bawah ufuk dan cakrawala kehidupan yang natural dan
terbentang luas,
ayah adalah ayah..
pada bahunya yang melindungi,
pada matanya yang mewanti-wanti..
pada suaranya yang memperjelas batas-batas..
pada batuknya yang menandai..
pada kata-katanya yang mudah..
ayah kita adalah ayah yang sebenar-benarnya ayah..
-Ahmad
Zairofi AM Tulisan ini, special untuk ‘Ayah’ di seluruh dunia..
Terlepas ia
masih sehat wal ‘afiat atau sudah wafat..
“Engkau telah
memberikan seluruh hidupmu untuk kami, anakmu..
Tapi kami membaginya
sangat sedikit,
Engkau mengorbankan
seluruh dirimu untuk kami, anakmu..
Dan kami hanya
member sedikit penghargaan untukmu,
Kami, anak-anakmu
membebani pikiranmu sepanjang waktu,
Namun kami hanya
sesekali menghadirkan engkau dalam kehidupan kami…”
“Dan Engkau, Ayah,
tak pernah memberitahu bagaimana cara untuk hidup,
Engkau hidup dan dan
membiarkan aku melihat bagaimana engkau melakukannya.”
-Clarence
Budington Kelland
Dan Untuk yang
Terkasih, Yang senantiasa ada tindak dan doa dalam diamnya..
Semoga Allah
senantiasa melimpahkan cahaya di atas kuburmu, meneranginya setiap saat
Dan memupuk amal
jariyah yang tlah kau tanam di duniamu.
Selamat Ulang
Tahun Almarhum Ayahandaku, Ir.Yusran Gani.
(12 Mei 1961-12
Mei 2013)
Rindu kami kan
selalu mengaung bersama doa-doa yang kami panjatkan.
-Anak-anakmu