Sunday, May 12, 2013

Dalam diamnya, Ayah...



 

DIAM


Inilah 'kata' yang paling tepat untuk disematkan pada sosok manusia super bernama 'ayah'. Diam adalah karakter yang paling sering dilekatkan padanya. Mungkin karena fitrahnya yang terlahir sebagai seorang lelaki. Walaupun, tidak semua lelaki terlahir dalam perisai karakter ‘pendiam’.

Dalam asumsi dan pandangan sebagian besar anak (termasuk saya), seorang ayah kita akan lebih banyak diam dan tidak berbicara, dibandingkan dengan ibu. Mungkin yang nampak adalah ketika pada masa kanak-kanak, ia yang begitu mencintai dengan perilakunya yang ‘tampak’ dihadapan kita membuat ia terlihat sebagai sosok super hero atau kebanggaan kita di hadapan teman-teman. Namun, semakin berjalan waktu, sosok ayah seakan berubah, lambat laun komunikasi dan interaksi dengan ayah terasa semakin berkurang, terlebih ketika kita beranjak remaja dan menuju kedewasaan. Ayah akan lebih banyak terlihat diam, sebab diantara para 'ayah' ada yang sulit mengekspresiakan pesan cinta dan kasih sayang pada anak-anaknya. Namun, tanpa kita sadari..

Dibalik diamnya ada Cinta…

Diam tidak berarti tidak memiliki cinta, bukan?
Di zaman Rasulullah ada seorang sahabat yang pernah bercerita bahwa selama hidupnya ia belum pernah sekalipun mencium anaknya. Dan itu tak selalu bermakna ia diam tanpa cinta.
Tak seperti ibu yang selalu mengekspresikan cintanya dengan ciuman, pelukan hangat dan kasih sayang yang nyata.

Dibalik diamnya ayah akan slalu ada cinta, yang menyimpan banyak sekali makna. Dan tugas kita sebagai anak adalah mencari makna-makna tersebut. Agar kita bisa menemukan bahwa dibalik diamnya itu bahkan ada cinta yang benar-benar tulus dan sangat dalam.

Dibalik diamnya ada kebanggaan dan teladan…

Ayah punya caranya sendiri dalam mengapresiasi kita, dulu, ketika ayah mengajarkan kita mengendarai sepeda/motor, dan ketika ia menganggap bahwa kita telah mampu menggunakannya, ia akan melepaskan kita dan membiarkan kita melakukannya sendiri. Sementara disisi lain mungkin ibu akan berkata sebaliknya, karena begitu takut melihat anaknya terjatuh. Lalu? Apakah itu berarti ayah kita tega melihat anaknya terluka? NO ! kondisi sebenarnya ayah yakin semua kan baik-baik saja. Ayah membiarkannya, karena yakin kita bisa, dan ayah BANGGA ! Memang, ungkapan ayah mewakili apa yang diyakininya…
Sebahagian dari kita anaknya, mungkin tak pernah sadar bahwa betapa bangganya beliau dengan keberadaan kita disisinya, melihat anak-anaknya tumbuh menjadi lebih dewasa, melihat kita berhasil, bekerja, menikah dan memiliki anak. Betapa ia tak berhenti bersyukur dengan semua itu. Hanya saja ‘MUNGKIN’ kita tak pernah tau, karena ia mengungkapkan kebanggaannya dengan DIAM :’)

“Ayah terus berbuat meski tanpa banyak bicara. Hanya untuk kita. Will Roger mengatakan, “Yang ayah wariskan kepada anak-anaknya bukan kata-kata atau kekayaan, tetapi sesuatu yang tak terucapkan, yaitu teladan sebagai seorang pra dan seorang ayah sejati” –Majalah Tarbawi hal.50 (edisi khusus Ayah Punya Cara Sendiri dalam mencintai Kita)

Dibalik diamnya ada kesungguhan dan tanggung jawab…

Setiap pagi, sadarkah kita begitu ayam berkokok, subuh menjelang, betapa ia dengan semangatnya bangkit dari pembaringan untuk bersiap menghadapi hari beratnya? Nahkoda ‘keluarga’ yang memegang amanah ‘pencari nafkah’ siap untuk bertempur mengarungi samudra kehidupan sepanjang hari demi member makan istri dan anak-anaknya di rumah. Bekerja keras, membanting tulang, berkejaran dengan waktu. Seperti apa ayah kita? Seorang PNS kah? Seorang pengusaha? Seorang dokter? Insinyur? Petani atau buruh pabrik? Apapun ia, apapun profesinya, semua bentuk pekerjaan yang ia lakoni sesungguhnya ia kerjakan dengan sepenuh hati, demi apa? Demi cinta nya pada keluarga, demi cintanya pada kita, anak-anaknya…

Betapa bahagianya kemudian beliau ketika keringat yang bercucuran ataupun otak yang terasah sepanjang hari berbuah manis senyuman anak-anaknya yang menanti kepulangannya di depan pintu rumah, rasa lelah, seketika hilang, pelukan hangat dan tak jarang airmata yang tertumpah mengisahkan betapa ia tak sanggup menguntai bahagia dalam kata. Cintanya, menggelorakan semangat dan tanggung jawab yang tersembunyi dalam diamnya…

Dibalik diamnya ada kegalauan dan kerisauan…

“Anakku mulai menjauh dariku, dan takkan pernah kurengkuh kembali seperti ketika ia mash kanak-kanak” -ayah

Tanpa sepengetahuan kita, ayah menyimpan segumpal kegalauan dan kerisauan ketika perlahan anak-anakanya tumbuh menjadi semakin dewasa, ketika kita sudah mulai disibukkan dengan segudang pekerjaan diluar sana, ada semakin sedikit waktu yang bisa dihabiskan untuk sekedar duduk berbincang berbagi kebahagiaan bersama ayah.

“Sejak suara tangismu yang pertama, sejak kulantunkan adzan ditelingamu, aku begitu menyayangimu, yah..kaulah permata hatiku, namun kau bukanlah selamanya milikku, rumah ini hanya tempat persinggahan dalam perjalananmu menuju kedewasaan. Dan kini, sudah hamper masanya kau pamit, walau dihatiku terpancar sedikit rasa pahit, tapi siapalah aku yang bisa menahan perjalanan waktu? Siapalah aku yang mampu menahan realita kedewasaan? Maafkan aku, wahai anakku, bukan aku tak rela kau pergi, tetapi karena aku terlalu mencintaimu! Hatiku bertanya adakah orng lain yang bisa mencintaimu dan menjagamu sepenuh hati, sejak kau jalan tertatih, aku melihatmu jatuh bangun tanpa rasa letih. Kubalut luka mu dengan hati-hati agar kau tak menjerit. Tapi jika suatu hari hatimu terluka, siapakah yang akan membalut luka itu dalam perjalanan hidupmu?”

Dan begitu ayah bagi kita yang telah menikah, ia laksana makhluk paling bijak yang senantiasa tersenyum menyambut kebahagiaan kita walau di dalam hatinya terasa perih bahkan mungkin ia akan sengaja menghindar untuk sekedar menyeka airmatanya yang berjatuhan. Ayah, disaat yang menyenangkan bagi kita, baginya adalah bagai menanti detik-detik akhir kebersamaan. Dan ia, lagi lagi hanya terdiam. :’)

Dibalik diamnya ada kekesalan..

Terkadang sosok ayah yang baik hati bisa ‘kesal’ juga sewaktu waktu. Bukan ia kesal karena kelalukan ‘nakal’ anak-anaknya, sebenarnya ia kesal pada dirinya sendiri, karena tidak berhasil mendidik kita, anak-anaknya yang begitu ia cintai.

Dr. Arun Gandhi cucu dari Mahatma Gandi dan pendiri lembaga M.K.Ghandi, membagi kisahnya..

Waktu itu saya masih berusia 16 tahun, dan tinggal bersama orang tua di sebuah lembaga yang didirikan oleh kakek saya, ditengah-tengah kebun tebu 18 mil di luar kota Durban, Afrika Selatan. Kami tinggal di pedalaman dan tak punya tetangga. Tak heran, jika kami sangat senang jika di ajak ke kota untuk mengunjungi teman atau menonton bioskop.
Suatu hari aya meminta saya mengantarkannya ke kota untuk menghadiri konferensi sehari penuh. Dan saya sangat gembira dengan kesempatan itu. Tahu, bahwa ayah saya mau ke kota, ibu memberikan daftar belanjaan yang diperlukan. Selain itu ayah juga meminta saya untuk mengerjakan beberapa pekerjaan yang lama tertunda, seperti memperbaiki mobil dibengkel.
Pagi itu, setiba di tempat konferensi ayah berkata : “Ayah tunggu kamu, disini jam 5 sore. Lalu kita akan pulang ke rumah bersama-sama”. Segera saja saya menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang diberi ayah kemudian saya pergi ke bioskop. Wah saya benar-benar terpikat dengan dua permainan John Wayne sehingga lupa waktu. Begitu melihat jam pukul setengah 6 sore, langsung saya berlari menuju bengkel mobil dan terburu-buru menjemput ayah yang sedang menunggu. Saat itu sudah hamper pukul 6. Dengan gelisah ayah menanyai saya “Kenapa kau terlambat?” saya sangat malu mengakui bahwa saya menonton film John Wayne. Akhirnya saya katakan “Tadi mobilnya belum siap sehingga saya harus menunggu” Padahal, ternyata ayah telah menelpon bengkel mobil itu, dan kini ayah tahu bahwa saya berbohong.
Kenudian ayah berkata “Ada sesuatu yang salah dalam membesarkan kamu, sehingga kamu tidak memiliki keberanian untuk menceritakan kebenaran pada ayah. Untuk menghukum kesalahan pada ayah ini, ayah akan pulan ke rumah dengan berjalan kai sepanjang 18 mil an memikirkannya dengan baik-baik.”
Lalu dengan tetap mengenakan pakaian dan sepatunya, ayah mulai berjalan kaki pulang ke rumah. Padahal hari sudah gelap, sedangkan jalanan sama sekali tidak rata. Saya tidak bisa meninggalkan ayah. Maka selama lima stengah jamsaya mengendarai mobil pelan-pelan dibelakangnya. Melihat penderitaan yang dialami ayahhanya karena kebohongan bodoh yang saya lakukan, sejak saat itu saya bertekad untuk tidak lagi pernah berbohong”
Sering kali saya berfikir mengenai peristiwa inidan merasa heran, seandainya ayah menghukum saya sebagaimana kita menghukum anak-anak kita, maka apakah saya akan mendapatkan sebuah pelajaran mengenai kesalahan tanpa kekerasan? Saya kira tidak. Saya akan menderita atas hukuman itu dan melakukan hal yang sama lagi. Tetapi hanya dengan satu tindakan nyata tanpa kekerasan yang sangat luar biasa, sehingga saya merasa kejdian itu baru saja terjadi kemarin. Itulah kekuatan tanpa kekerasan.

Dibalik diamnya ada marah..

Bukan karena tidk sanggup berkata atau memukul, terkadang seorang ayah akan lebih banyak diam ketika marah dan menyerahkan uruan marah-memarahi kepada ibu. Kenapa? Ia memilih diam, karena cintanya pada kita.

Imam Hasan Al Banna  juga kadang mengekspresikan marahnya dengan diam, Tsana anak pertama beliau pernah menceritakan hukuman yang diberikan ayahnya karena bermain tanpa sandal, saat aku duduk dan melihat ayah dari kejauhan aku segera bangun dan menghampirinya tanpa sandal, pdahal ayah sudah menyiapkan sandal untuk bermaindan sepatu untuk ke sekolah. Ketika itu ayah melihatku hanya sepintas, diam sambil berlalu, saat itu aku sadar ayah pasti marah. Maka segerahlah aku kembali ke rumah ketika para tamu sudah pulang, ayah lalu mendudukkanku dan berkata “Duduklah di atas kursi dan angkat kedua kakimu” ayah lalu memukulku dengan penggaris pendek, terus terang saat itu dalam hati aku tertawa, karena pukulannya sangat pelan dan tak berasa sama sekali. Dan itu emmbuatku sadar bahwa ayah hanya ingin mengerti bahwa aku telah melakukan kesalahan.

Diam adalah caranya marah, sederhana, namun membekas di hati. Tujuannya? Hanya ingin membuat kita sadar betapa ia cinta dalam marahnya sekalipun.

Ayah, ada banyak makna dalam diammu, semangat, tanggung jawab, kebanggaan, kecewa, amarah dan banyak lagi lainnya, namun apapun itu, pelatuknya selalu CINTA. Ayah meredam amarahnya karena cinta, ayah bangga dan hidupnya selalu bersemangat karena CINTA, ya cinta kepada kita, anak-anaknya… 


Ayah adalah ayah... 
di bawah ufuk dan cakrawala kehidupan yang natural dan terbentang luas, 
ayah adalah ayah..
pada bahunya yang melindungi, 
pada matanya yang mewanti-wanti.. 
pada suaranya yang memperjelas batas-batas..
pada batuknya yang menandai..
pada kata-katanya yang mudah..
ayah kita adalah ayah yang sebenar-benarnya ayah..
 -Ahmad Zairofi AM


Tulisan ini, special untuk ‘Ayah’ di seluruh dunia..
Terlepas ia masih sehat wal ‘afiat atau sudah wafat..

“Engkau telah memberikan seluruh hidupmu untuk kami, anakmu..
Tapi kami membaginya sangat sedikit,
Engkau mengorbankan seluruh dirimu untuk kami, anakmu..
Dan kami hanya member sedikit penghargaan untukmu,
Kami, anak-anakmu membebani pikiranmu sepanjang waktu,
Namun kami hanya sesekali menghadirkan engkau dalam kehidupan kami…”

“Dan Engkau, Ayah, tak pernah memberitahu bagaimana cara untuk hidup,
Engkau hidup dan dan membiarkan aku melihat bagaimana engkau melakukannya.”
-Clarence Budington Kelland


Dan Untuk yang Terkasih, Yang senantiasa ada tindak dan doa dalam diamnya..
Semoga Allah senantiasa melimpahkan cahaya di atas kuburmu, meneranginya setiap saat
Dan memupuk amal jariyah yang tlah kau tanam di duniamu.

Selamat Ulang Tahun Almarhum Ayahandaku, Ir.Yusran Gani.
(12 Mei 1961-12 Mei 2013)
Rindu kami kan selalu mengaung bersama doa-doa yang kami panjatkan.
-Anak-anakmu



-Blog Of Friendship-

Photobucket

Followers